Rabu, 27 Februari 2013

Kreatif Dengan Pemikiran Jurgen Habermas


A. Biografi Jurgen Habermas
Jurgen Habermas dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1929 di kota Dusseldorf, Jerman. Jurgen Habermas dibesarkan di kota Gummersbach, kota kecil dekat dengan Dusseldorf. Ketika ia memasuki masa remaja diakhir Perang Dunia II, ia baru menyadari bersama bangsanya akan kejahatan rezim nasional-sosialis dibawah kepemimpinan Aldof Hitler. Inilah yang mendorong  pemikiran Habermas tentang pentingnya demokrasi di negaranya.
Kemudian ia melanjutkan studinya di Universitas Gottingen, dengan mempelajari kesusasteraan, sejarah, dan filsafat (Nicolai Hartmann) serta mengikuti kuliah psikologi dan ekonomi. Setelah itu, ia meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn dan pada tahun 1954 ia meraih gelar “doktor filsafat” dengan sebuah disertasi berjudul Das Absolute und die Geshichte (Yang Absolut dan Sejarah) merupakan studi tentang pemikiran Schelling. Berbarengan dengan itu juga, ia mulai lebih aktif dalam diskusi-diskusi politik. Hal ini juga yang mendorong Habermas untuk masuk ke partai National Socialist Germany.
Pada tahun 1956, Jurgen Habermas berkenalan dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi asisten dari Theodor Adorno. Habermas belajar tentang sosiologi dari Theodor Adorno. Kemudian, ia mengambil bagian dalam suatu proyek penelitian mengenai sikap politik mahasiswa di Universitas Frankfurt. Pada tahun 1964, hasil penelitiannya dipublikasikan dalam sebuah buku Student und Politik (Mahasiswa dan Politik). Ketika Jurgen Habermas bekerja di Institut Penelitian Sosial tersebut, ia makin berkenalan dengan pemikiran Marxisme.
Sekitar waktu yang sama Habermas mempersiapkan Habilitations schift-nya. Karangan in diberi judul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Tranformasi struktural dari lingkup umum), suatu studi yang mempelajari sejauh mana demokrasi masih mungkin dalam masyarakat modern. Fokus utama dari tulisan itu adalah tentang berfungsi tidaknya pendapat umum dalam masyarakat modern. Pada kurun waktu yang sama, Habermas diundang menjadi profesor filsafat Universitas Hiedelberg (1961-1964). Pada tahun 1964, ia kembali ke Universitas Frankfurt, karena diangkat menjadi profesor sosiologi dan filsafat mengantikan Horkheimer.
Pemikiran Marx yang sudah dikenal oleh Habermas pada Mazhab Frankfurt cukup mempengaruhi pemikiran dia secara utuh. Peranan ia sebagai seorang Marxis tampak ketika ia turut berperan serta dalam gerakan mahasiswa Frankfurt. sekitar tahun 1960-1970 an merupakan periode demonstrasi “gerakan mahasiswa kiri baru yang radikal” yang sedang marak. Sebagai seorang pemikiri Marxis, ia cukup dikenal oleh gerakan mahsiswa tersebut, bahkan sempat menjadi ideolognya, walaupun keterlibatannya hanya sejauh sebagai pemikir Marxis. Habermas sangat populer dikalangan kelompok yang bernama Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman).
Akan tetapi, kedekatan Jurgen Habermas dengan kelompok mahasiswa yang beraliran kiri radikal tidak terlalu lama. Hal itu dikarenakan, aksi-aksi mahasiswa yang mulai melewati ambang batas, yaitu dengan menggunakan tindak anarkis atau tindak kekerasan. Akibatnya, Habermas mengkritik tindakan mahasiswa yang melampaui batas tersebut. Akan tetapi, akibat dari kritikan tersebut, Jurgen Habermas harus bernasib sama dengan Max Horkheimer dan Theodor Adorno, yang terlibat konflik dengan mahasiswa.
Di dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1969 yang berjudul Protestbewegung und Hochschulreform (Gerakan oposisi dan pembahasan perguruan tinggi). Jurgen Habermas mengkritik secara pedas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa kiri. Bagi Habermas, aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa kiri tersebut dikecam sebagai ‘revolusi palsu’, bentuk-bentuk pemerasan yang diulang kembali, dan counterproductive.
Akhirnya, Habermas dengan mahasiswa beraliran kiri tersebut makin bertentangan. Hal ini mendorong Habermas untuk keluar dari Universitas Frankfurt. Habermas menerima tawaran untuk bekerja di Max Planck Institut di kota Stanberg sebagai peneliti. Habermas bekerja di sana selama 10 tahun sampai lembaga penelitian ini dibubarkan. Selama di Max Planck Institut Habermas telah mencapai kematangan pemikiran filosofisnya.
Banyak karya-karya tulis yang dibuatnya selama di sana, antara lain: Legitimationsprobleme im Spatkapitalismus (Masalah legitimasi dalam kapitalisme kemudian hari, 1973), Kultur und Kritik (Kebudayaan dan Kritik, 1973); Zur Rekonstruktion des Historischen Materialismus (Demi rekonstruksi materialisme historis, 1976). Selain itu, masih ada satu karya tulis Habermas yang dapat dikatakan sebagai opus magnumnya dan puncak seluruh usaha ilmiahnya adalah Theorie des kommunikativen Handelns (Teori tentang praksis komunikatif, dua jilid, 1981). Pada akhirnya, Jurgen Habermas kembali ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat. Ia mengajar di Universitas Frankfurt sampai memasuki masa pensiunnya pada tahun 1994. Pada waktu itu, Habermas sudah memiliki reputasi internasional yang besar dan banyak diminta untuk berbicara di berbagai pertemuan atau diskusi ilmiah.
Dari biografi Jurgen Habermas, banyak karya-karyanya dan gagasan pemikirannya yang bermanfaat dalam kehidupan. Terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
B. Gagasan Pemikiran Jurgen Habermas Dalam Dunia Filsafat
Jurgen Habermas merupakan tokoh terakhir dari Mazhab Frankfurt dan juga yang masih hidup sampai sekarang. Ketika Mazhab Frankfurt secara resmi sudah tidak ada lagi dan teori yang ditawarkan kepada masyarakat berakhir dengan sikap yang pesimis. Namun, Jurgen Habermas telah menghidupkan kembali Mazhab Frankfurt dan melanjutkan kembali teori kritis yang menjadi proyek dari para pendahulunya (Max Horkheimer,Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse). Bukan hanya teori krits yang dilanjutkan oleh Jurgen Habermas, ada banyak hal yang diberikan oleh Jurgen Habermas dalam dunia filsafat dewasa ini.
Beberapa gagasan pemikiran dari Jurgen Habermas yang sangat bermanfaat adalah sebagai berikut:
1.    Teori Kritis
Menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa dikenal dikalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Jurgen Habermas menggambarkan Teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang umumnya dianut oleh aliran positivistik. Teori krtis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat trasendental yang melampaui data empiris. Dapat dikatakan, Teori kritis merupakan kritik ideologi. Teori kitis ini dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern. Akan tetapi, semua itu konsep Teori Kritis yang ditawarkan oleh para pendahulu Jurgen Habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse) mengalami sebuah kemacetan atau berakhir dengan kepesimisan. Akan tetapi, teori ini tidak berakhir begitu saja, Jurgen Habermas sebagai penerus Mazhab Frankfurt akan membangkitkan kembali teori tersebut dengan sebuah paradigma baru.
Teori kritis menurut Habermas di sebut dengan “teori dengan maksud praktis” berarti tindakan yang membebaskan model teori kritis dengan maksud praktis. Dalam masalah teori-teori Habermas mempunyai beberapa kepentingan; kepentingan pengetahuan dan kepentingan praktis ide itu bukanlah tidak serupa dengan mengatakan bahwa seorang mahasiswa mengembangkan suatu kepentingan” dengan maksud untuk mem­peroleh suatu tingkat dari tujuannya. Kepentingan yang dibicarakan Habermas ini, bagaimanapun juga dimiliki oleh kita semua dalam keanggotaan masyarakat manusia. Argumentasinya berakar di dalam karya Marx, dan kita  temukan kritikan utamanya tentang teori Marx. Kepentingan selanjutnya yaitu kepentingan prak­tis, yang pada gilirannya memunculkan ilmu pengetahuan Hermeneutik yang dengan caranya menginterpretasikan tindakan satu sama lain. Baik secara individu, sosial masyarakat maupun secara organisatoris secara kritis menurut Habermas. Kepentingan praktis, kata Habermas memunculkan suatu kepentingan ketiga, “kepentingan emansipatoris“. Dia membangkitkan pengetahuan teoritis, untuk itu Ha­bermas mengambil psikoanalisa sebagai model untuk mengkaitkan antara kemampuan berfikir dan bertindak dengan kesa­daran sendiri. Maka, teori bagi Habermas merupakan suatu produk dan memenuhi maksud dari tindakan manusia. Se­cara esensial itu adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar.
Penegasan kunci Habermas adalah bahwa tidak masuk akal kita bicara umum tentang kepentingan di be­lakang ilmu-ilmu sebagaimana dilakukan oleh Horkheimer, Adorno dan Marcuse. Habermas menegaskan (sesuai dengan pendekatan teori kritis sejak semula) bahwa ilmu pengetahuan malah hanya mungkin sebagai perwujudan ke­butuhan manusia, yang terungkap dalam suatu kepentingan fundamental. Pekerjaan merupakan “bentuk sintesis manusia dan alam yang di satu pihak mengikatkan objektivitas alam pada pekerjaan objektif subjek-subjek, tetapi di lain pihak tidak meniadakan independensi eksistensinya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan kategori epistemologi, istilah filsafat ilmu pengetahuan.
Pada kenyataannya Habermas menyarankan bahwa tingkat ekonomi dari formasi sosial hanya dominan da­lam masyarakat kapitalis, barangkali hanya dalam kapitalisme awal, dia mengatakan setiap tipe masyarakat diatur oleh suatu kompleks institusional tertentu mungkin hal itu adalah institusi ekonomi untuk kapi­talisme awal, negara untuk kapitalisme akhir dan sis­tem kekerabatan dalam masyarakat suku terasing. Namun demikian institusi-institusi itu sendiri bisa dilihat sebagai penjelmaan-penjelmaan dari nilai-nilai budaya dan norma-norma yang dia lihat sebagai hal yang ber­kembang kearah tingkat-tingkat universalitas yang se­makin tinggi. Menurut Habermas bahwa institusi sosial ada tidak hanya untuk membantu dan mempertahankan produksi ekonomi tetapi juga menekan kembali keinginan yang mau membuat kehidupan sosial menjadi tidak mung­kin. Habermas memperhatikan evolusi masyarakat manusia dari jumlah sudut pandangan yang lain, biasanya menghasilkan klasifikasi yang tiga kali lipat. Masyarakat dilihat sebagai hasil dari tindakan manusia pada gilirannya distruktur oleh norma-norma dan nilai-nilai. Perkembangan- perkembangan dari nilai-nilai dan norma-norma inilah, yang harus diperhatikan kalau kita mau memahami perubahan so­sial.
Dasar-dasar untuk kritik sosial terletak dalam tujuan yang terhadapnya perkembangan sosial itu beru­bah, suatu rasional universal yang di dalamnya  setiap orang berpartisipasi secara sama. Suatu situasi dimana komunikasi tidak mengalami distorsi  suatu situasi per­cakapan yang ideal, yang ingin dibuatkan out line-nya oleh Habermas. Seperti dengan karya persons kita bera­khir dengan konsepsi kecil atau sederhana tentang tingkat-tingkat dari organisasi sosial, di luar yang di­berikan oleh pemberian prioritas kepada kebudayaan, tak ada pengaruh mengenai mekanisme sebab akibat dan lebih merupakan suatu pengklasifikasian umum daripada suatu sistem yang bersifat menjelaskan.
Paradigma Teori Kritis masyarakat klasik di­tentukan oleh dua faham fundamental, yaitu: gaya pemikiran his­toris dan gaya pemikiran materialis. Dengan pola berpikir historis dimaksud bahwa realitas sosial yang ada sekarang hanya dapat di pahami betul kalau dilihat sebagai hasil sebuah sejarah. Ilmu-ilmu positif menyelubungi secara idiologis fakta yang paling fundamental bahwa sejarah itu di buat oleh manusia sendiri (dalam bahasa Marx: manusia sebagai Gattungswesen atau makhluk jenis membuat sejarahnya sendiri), bahwa sejarah itu merupakan sejarah penindasan, bahwa penindasan itu justru ditutup-tutupi sehingga realitas sekarang tampak sebagai objektifitas yang wajar. Teori kritis bertugas  membuka selubung ideologis itu, jadi membuka penghisapan dan penindasan itu sebagai karya manusia dan dengan demikian membuka kemungkinan pembebasan. Maka Habermas bicara tentang “teori kritis sejarah dengan maksud praktis”. Dengan meminjam pola pendekatan psikoanalisa dari Sigmund Freud, ia mengharapkan agar ingatan kembali terhadap sejarah penderitaan dan penindasan melepaskan kekuatan-kekuatan emansipatoris: menyadari diri sebagai korban penindasan terselubung memberikan tekad untuk membebaskan diri dari sebuah situasi yang sekarang ti­dak lagi dipandang objektif perlu, melainkan sebagai hasil proses sejarah.
Dengan demikian pemikiran Jurgen Habermas sebagai filosof dari Jerman yang menggunakan sifat kritis terhadap berbagai macam per­soalan termasuk teori tradisional. Habermas mempunyai kesadaran mengkritisi segala tin­dakan yang merugikan sosial, baik itu secara individu kelompok, masyarakat, ataupun organisasi. Dia juga menggunakan dua pendekatan dalam mengkritisi sesuatu; gaya pemikiran historis dan pemikiran materialis. Dengan demikian ia tidak selalu menggunakan ga­ya filsafat kritis. Karena dia melihat adanya perubahan dalam sosial. Namun perubahan tersebut tetap dalam kerangka sosial yang nyata.
2.    Rasionalitas dan Komunikatif
Bagi para pendahulu tokoh Mazhab Frankfurt, rasionalitas lebih dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk menghasilkan efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal. Jika menggunakan konsep rasionalitas semacam itu, maka manusia akan terasing satu sama lain, terutama karena mereka memperlakukan manusia lainnya sebagai benda untuk mencapai tujuan mereka masing-masing.
Kemudian Jurgen Habermas melihat miskonsepsi atas rasionalitas , dan kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam didalam akal budi manusia itu sendiri, dan didalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada.
Proyek pencerahan memang membawa dampak buruk bagi peradaban manusia, tetapi dampak baiknya juga tidak dapat dilupakan begitu saja. Perang memang memakan korban yang semakin besar, tetapi kemampuan manusia untuk menggunakan akal budinya juga bertambah, dan dimana sumber masalah ada, biasanya disitulah sumber solusinya.
Jika yang salah adalah rasionalitas manusia yang telah menjadi melulu instrumental, maka solusinya adalah rasionalitas yang bersifat komunikatif yang terletak didalam kemampuan manusia untuk mencapai saling pengertian terhadap manusia lainnya, yakni di dalam bahasa. Dengan merumuskan rasionalitas komunikatif sebagai inti dari seluruh pemikirannya, Habermas berhasil membuat terobosan dari kebuntuan para pendahulunya di Teori Kritis Frankfurt, dan kemudian melebarkan analisis Teori Kritis sampai menyentuh refleksi filsafat bahasa, teori diskursus dan moralitas, serta Refleksi tentang ruang publik, dimana rasionalitas menemukan ruang implementasinya, yakni didalam prakteks dialog dan debat publik untuk mencapai kesaling pengertian.
Jurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di dalam Teori Kritis . Menurut Jurgen Habermas, komunikasi dapat menyelesaikan kemacetan Teori kritis yang ditawarkan oleh pendahulunya. Jurgen Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi (interaksi). Pekerjaan merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan untuk mencapai sesuatu. Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling pengertian. Dalam tradisi Mazhab Frankfurt, teori dan praksis tidak dapat dipisahkan. Praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan-kegiatan yang berkerja melulu, melainkan interaksi dengan orang lain menggunakan bahasa sehari-hari.
Jadi, Jurgen Habermas berpendirian bahwa kritik hanya dapat maju dengan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekerasan, tetapi melalui argumentasi. Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi, yaitu: perbincangan atau diskursus dan kritik.
3.    Wacana Etika
Dalam wacana etika, Jurgen Habermas merumuskan perspektif moral dalam ilham yang sama. Prinsip etika wacana (Diskursethischer Grundsatz) memiliki makna, hanya norma-norma yang dipersetujui atau yang dapat dipersetujui oleh kalangan yang terlibat dalam wacana saja boleh dianggap sahih. Kedua, adalah prinsip universalisasi (Universalisierungsgrundsatz), yang memberikan makna, sebuah norma moral yang hanya boleh dianggap sahih kalau kesan-kesannya dapat diperhitungkan dalam mempengaruhi serta memuaskan peserta secara nir-paksaan dan boleh ditaati secara umum. Jadi, tampaknya norma moral pada Habermas itu sarat menuntut kepada mufakat, serta memang lapang untuk diwacanakan sesama yang terlibat.
Menyadari hal ini, maka Habermas menyatakan bahawa dua prinsip ini dapat berfungsi baik, lantaran persoalan moral itu sebenarnya bukanlah persoalan perasaan. Persoalan moral, bagi Habermas, adalah dasar-dasar rasional yang boleh menggalang wacana. Maka, sejauh ada nuansa rasional-nya, maka sejauh itulah juga wacana dapat diteruskan. Buktinya, menerusi wacana, setiap pesertanya mestilah membawa suara-suara universal, yang sekaligus dapat dipersoalkan. Jadi, sejauh dapat dipersoalkan, maka itu adalah rasional. Sebaliknya, kalau tidak dapat dipersoalkan, itu adalah persoalan perasaan semata. Dengan demikian, terbukti bahawa persoalan moral adalah persoalan rasional.
Di samping itu, setiap wacana harus terbuka untuk penyanggahan. Memandang setiap manusia adalah sama, sehingga setiap manusia memiliki jaminan haknya untuk menyampaikan pandangan secara bebas. Dan, mereka yang paling cerdas pemikirannya, paling cerdas kemampuannya, maka merekalah yang selayaknya mendapat perhatian.
Habermas kemudiannya membedakan mana yang baik dan mana yang tidak adil. Ia memandang ke dalam wilayah hubungan antara masyarakat, moral, hukum dan negara. Terutama melalui persoalan hukum, dan sekaligus persoalan bangsa dan negara. Setiap hukum yang akan dibuat, harus mampu melewati proses wacana masyarakat terlebih dahulu. Istimewanya, apa yang dikemukakan Habermas ini jelas memperbaiki gagasan trias politica antara eksekutif, judikatif, dan legistatif, seperti yang dikemukakan Montesquieu dalam L’Esprit des lois.
Jadi wacana etika yang diberikan Jurgen Habermas memberikan pandangan yang baik untuk terciptanya kerukunan di dunia., yang menjunjung hak asasi manusia. Habermas merumuskan sebuah kaedah mufakat dalam masyarakat, yang juga kemudiannya mewadahi negara-hukum. Dia menjadikan wacana etika sebagai  proses berkomunikasi dalam interaksi sosial yang menjadi kunci bagi terwujudnya masyarakat yang bebas dan merdeka. Dalam kaitan itulah komunikasi harus jelas, jujur, benar dan betul, dan karena itu, rasionalitas masyarakat sangat terkait dengan keberhasilannya dalam memecahkan masalah atau konflik yang dihadapinya dengan memuaskan pihak-pihak yang terlibat.
4.    Demokrasi Deliberatif
Kata “deliberasi” berasal dari bahasa Latin deliberatio yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini memiliki arti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam istilah politik adalah “musyawarah”. Pemakaian istilah demokrasi memberikan makna tersendiri bagi konsep demokrasi. Istilah demokrasi deliberatif memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.
Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu. Teori ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya.
Jadi pandangan Jurgen Habermas dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas. Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang yang memegang mandat. Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara tidak langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.
5.    Ruang Publik
Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi. Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.
Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang. Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik. Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, Pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).
Jadi Jurgen Habermas memberikan gagasan mengenai ruang publik bahwa ruang publik bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang publik di tengah-tengah masyarakat. Ruang publik tidak dapat dibatasi karena ruang publik ada dimana saja. Di mana ada masyarakat yang duduk berkumpul bersama dan berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, maka disitu hadir ruang publik. Selain itu, ruang publik tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar maupun politik. Oleh karena itu, ruang publik tidak terbatas.
C. Menjadi Kreatif dan Inovatif dengan Gagasan Pemikiran Jurgen Hubermas Dalam Dunia Pendidikan
Kreatif dan Inovatif adalah karakteristik personal yang harus terpatri kuat dalam diri kita. Pendidikan yang dikembangkan secara kreatif dan inovatif akan menjadi sangat menarik dan menyenangkan dalam dunia pendidikan. Bahkan akan semakin berkembang dan menjadi terobosan baru dalam dunia pendidikan. Yang tentunya melalui pendidikan akan memajukan di semua bidang.
Kreatifitas dan Inovasi merupakan dua hal yang berbeda tetapi saling membutuhkan satu sama lain. Karena sebuah Kreatifitas tidak akan ada gunanya manakala tidak ada Inovasi yang berhasil mewujudkan. Inovasi dan Kreatifitas memiliki dominan yang sama, yaitu sama-sama baru, akan tetapi memiliki batasan yang tegas. Kreatifitas merupakan langkah pertama menuju Inovasi. Kreatifitas berkaitan dengan produksi kebaruan dan ide yang bermanfaat dan implementasinya.
            Inovasi adalah proses menemukan atau mengimplementasikan sesuatu yang baru ke dalam situasi yang baru. Konsep kebaruan ini berbeda bagi kebanyakan orang karena sifatnya relatif, Maksudnya adalah apa yang dianggap baru merupakan lama bagi orang lain dalam konteks lain. Inovasi merupakan memikirkan dan melakukan sesuatu yang baru untuk menambahkan nilai-nilai manfaat dari suatu barang atau produk.
          Pendidikan yang kreatif dan inovatif  menggambarkan keseluruhan proses pendidikan, misalnya proses belajar mengajar yang berlangsung menyenangkan dengan melibatkan peserta didik untuk berpartisipasi secara aktif selama proses pembelajaran. Untuk dapat mewujudkan pendidikan yang aktif dan kreatif, serta menyenangkan tentu saja diperlukan ide-ide atau pun gagasan kreatif dan inovatif.
Menjadi kreatif dan inovatif dapat diperoleh melalui  gagasan Jurgen Habermas dengan mengaplikasikannya di bidang pendidikan. Ada beberapa hal dalam pendidikan yang dapat dikembangkan dengan gagasan pemikiran tersebut antara lain:

1.  Sains Teknologi masyarakat
Perkembangan sains dan teknologi digunakan dan dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat. Dengan memperbaharui melalui ide-ide yang kritis, rasional dan komunikatif sehingga menghasilkan suatu hasil inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.

2.  Ramah Terbuka dan Komunikatif
Pelaksanaan pendidikan bersifat ramah, menjadi lebih menyenangkan dan dapat dilakukan melalui ruang publik. Misalnya dengan pelaksanaan pendidikan langsung di tempat penelitian. Sehingga pelaksanaannya lebih bersifat rasionalitas dan menjadi lebih komunikatif. Sehingga mudah dikembangkan dan menjadi lebih menarik.

3.  Menyenangkan Aktraktif Terukur Objektif dan Aktif
Dalam pelaksanaan pendidikan tentunya diperlukan kemufakatan dalam memajukan dunia pendidikan. Bagian-bagian yang menjadi permasalahan dalam dunia pendidikan dapat diselesaikan dengan memberikan kritik dan saran terhadap pelaksanaan program pemerintah dalam dunia pendidikan. Tidak hanya kritik dan saran namun juga adil dari semua masyarakat untuk kepentingan bersama. Sehingga inovasi pendidikan yang tercapai akan lebih terarah. 
Dengan demikian menjadi kreatif dan inovatif dapat dilakukan dengan teori kritis, berpikir rasional dan komunikatif, berprinsip untuk kemajuan bersama melalui kemufakatan, memanfaatkan wacana etika, dan tentunya memanfaatkan ruang publik untuk perkembangan pendidikan. Dan diharapkan dengan menjadi kreatif dan inovatif dalam dunia pendidikan dapat menghasilkan ide-ide dan karya-karya baru.

Semoga bermanfaat

DAFTAR PUSTAKA

Aqil Fithri. 2010. “Habermas dan Etika wacana”. http://jalantelawi.com/2010/05/habermas-dan-etika-wacana/. Diakses tanggal 2 Januari 2013.

Bertens. 2002. “ Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman”. Jakarta: Gramedia.

Budi Hardiman. 2009. “ Kritik Ideologi”. Yogyakarta: Kanisius.

Budi Hardiman. 2009. “ Menuju Masyarakat Komunikatif”. Yogyakarta: Kanisius.

Budi Hardiman. 2009. “ Demokrasi Deliberatif”. Yogyakarta:  Kanisius.
Budi hardiman. 2010. “ Ruang Publik”. Yogjakarta: Kanisius.
Ginting Paham dan Syafrizal Helmi Situmorang.  2008. “Filsafat Ilmu dan Metode Riset”. Medan :USU Press.
Reza A.A Wattimena. 2007. “Rasionalitas Komunikatif”. http://rumahfilsafat.com/2007/Crasionalitas-komunikatif/D-jurgen-habermas-masihkah-relevan/. Diakses tanggal 2 januari 2013.

Wikipedia. “Jurgen Habermas”. http://id.wikipedia.org/wiki/BCrgen_Habermas. Diakses tanggal 2 januari 2013