A.
Biografi Jurgen Habermas
Jurgen Habermas dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1929 di
kota Dusseldorf,
Jerman.
Jurgen Habermas dibesarkan di kota Gummersbach, kota kecil
dekat dengan Dusseldorf. Ketika ia memasuki masa remaja diakhir Perang Dunia
II, ia baru menyadari bersama bangsanya akan kejahatan rezim nasional-sosialis
dibawah kepemimpinan Aldof Hitler. Inilah yang
mendorong pemikiran Habermas tentang
pentingnya demokrasi di negaranya.
Kemudian ia melanjutkan studinya di Universitas Gottingen, dengan mempelajari kesusasteraan, sejarah,
dan filsafat
(Nicolai Hartmann) serta
mengikuti kuliah psikologi dan ekonomi. Setelah itu, ia meneruskan studi filsafat di Universitas
Bonn dan pada tahun 1954 ia meraih gelar “doktor filsafat” dengan sebuah disertasi
berjudul Das Absolute und die Geshichte
(Yang Absolut dan Sejarah) merupakan studi tentang pemikiran Schelling.
Berbarengan dengan itu juga, ia mulai lebih aktif dalam diskusi-diskusi
politik. Hal ini juga yang mendorong Habermas untuk masuk ke partai National
Socialist Germany.
Pada tahun 1956, Jurgen Habermas berkenalan dengan Institut
Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi asisten dari Theodor
Adorno. Habermas belajar tentang sosiologi
dari Theodor Adorno. Kemudian, ia mengambil bagian dalam suatu proyek
penelitian mengenai sikap politik mahasiswa di Universitas Frankfurt.
Pada tahun 1964,
hasil penelitiannya dipublikasikan dalam sebuah buku Student und Politik (Mahasiswa dan Politik). Ketika Jurgen Habermas
bekerja di Institut Penelitian Sosial tersebut, ia makin berkenalan dengan
pemikiran Marxisme.
Sekitar waktu yang sama Habermas mempersiapkan
Habilitations schift-nya. Karangan in diberi judul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Tranformasi struktural dari
lingkup umum), suatu studi yang mempelajari sejauh mana demokrasi
masih mungkin dalam masyarakat modern. Fokus utama dari tulisan itu adalah
tentang berfungsi tidaknya pendapat umum dalam masyarakat modern. Pada kurun
waktu yang sama, Habermas diundang menjadi profesor filsafat
Universitas Hiedelberg
(1961-1964). Pada tahun 1964, ia
kembali ke Universitas Frankfurt, karena diangkat menjadi profesor sosiologi
dan filsafat mengantikan Horkheimer.
Pemikiran Marx yang sudah dikenal oleh Habermas pada Mazhab
Frankfurt cukup mempengaruhi pemikiran dia secara utuh. Peranan ia
sebagai seorang Marxis tampak ketika ia turut berperan serta dalam gerakan
mahasiswa Frankfurt. sekitar tahun 1960-1970 an
merupakan periode demonstrasi “gerakan mahasiswa kiri baru yang
radikal” yang sedang marak. Sebagai seorang pemikiri Marxis, ia cukup dikenal
oleh gerakan mahsiswa tersebut, bahkan sempat menjadi ideolognya, walaupun
keterlibatannya hanya sejauh sebagai pemikir Marxis. Habermas sangat populer
dikalangan kelompok yang bernama Sozialistischer Deutsche Studentenbund
(Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman).
Akan tetapi, kedekatan Jurgen Habermas dengan kelompok
mahasiswa yang beraliran kiri radikal tidak terlalu lama. Hal itu
dikarenakan, aksi-aksi mahasiswa yang mulai melewati ambang batas, yaitu dengan
menggunakan tindak anarkis atau tindak kekerasan. Akibatnya, Habermas
mengkritik tindakan mahasiswa yang melampaui batas tersebut. Akan tetapi,
akibat dari kritikan tersebut, Jurgen Habermas harus bernasib sama dengan Max
Horkheimer dan Theodor Adorno, yang terlibat konflik dengan mahasiswa.
Di dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1969 yang
berjudul Protestbewegung und
Hochschulreform (Gerakan oposisi dan pembahasan perguruan tinggi). Jurgen
Habermas mengkritik secara pedas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh
mahasiswa kiri. Bagi Habermas, aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa
kiri tersebut dikecam sebagai ‘revolusi palsu’, bentuk-bentuk pemerasan yang
diulang kembali, dan counterproductive.
Akhirnya, Habermas dengan mahasiswa beraliran kiri tersebut
makin bertentangan. Hal ini mendorong Habermas untuk keluar dari Universitas
Frankfurt. Habermas menerima tawaran untuk bekerja di Max Planck
Institut di kota Stanberg sebagai peneliti. Habermas bekerja di sana
selama 10 tahun sampai lembaga penelitian ini dibubarkan. Selama di Max Planck
Institut Habermas telah mencapai kematangan pemikiran filosofisnya.
Banyak karya-karya tulis yang dibuatnya selama di sana,
antara lain: Legitimationsprobleme im
Spatkapitalismus (Masalah legitimasi dalam kapitalisme kemudian hari,
1973), Kultur und Kritik (Kebudayaan
dan Kritik, 1973); Zur Rekonstruktion des
Historischen Materialismus (Demi rekonstruksi materialisme historis, 1976).
Selain itu, masih ada satu karya tulis Habermas yang dapat dikatakan sebagai
opus magnumnya dan puncak seluruh usaha ilmiahnya adalah Theorie des kommunikativen Handelns (Teori tentang praksis
komunikatif, dua jilid, 1981). Pada akhirnya, Jurgen Habermas
kembali ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat. Ia mengajar di
Universitas Frankfurt sampai memasuki masa pensiunnya pada tahun 1994. Pada
waktu itu, Habermas sudah memiliki reputasi internasional yang besar dan banyak
diminta untuk berbicara di berbagai pertemuan atau diskusi ilmiah.
Dari biografi Jurgen Habermas, banyak karya-karyanya dan
gagasan pemikirannya yang bermanfaat dalam kehidupan. Terutama dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
B. Gagasan Pemikiran Jurgen Habermas Dalam Dunia Filsafat
Jurgen Habermas merupakan tokoh terakhir dari Mazhab
Frankfurt dan juga yang masih hidup sampai sekarang. Ketika Mazhab
Frankfurt secara resmi sudah tidak ada lagi dan teori yang ditawarkan kepada
masyarakat berakhir dengan sikap yang pesimis. Namun, Jurgen
Habermas telah menghidupkan kembali Mazhab Frankfurt dan melanjutkan kembali
teori kritis yang menjadi proyek dari para pendahulunya (Max Horkheimer,Theodor
Adorno, dan Herbert Marcuse). Bukan hanya teori krits yang
dilanjutkan oleh Jurgen Habermas, ada banyak hal yang diberikan oleh Jurgen
Habermas dalam dunia filsafat dewasa ini.
Beberapa gagasan pemikiran dari Jurgen Habermas yang sangat
bermanfaat adalah sebagai berikut:
1. Teori Kritis
Menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori
ilmiah, yang biasa dikenal dikalangan publik akademis dalam masyarakat kita.
Jurgen Habermas menggambarkan Teori kritis sebagai suatu metodologi yang
berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan
(sosiologi). Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta
objektif, yang umumnya dianut oleh aliran positivistik. Teori krtis
berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan
kondisi yang bersifat trasendental yang melampaui data empiris. Dapat
dikatakan, Teori kritis merupakan kritik ideologi. Teori kitis ini
dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh selubung
ideologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan
berpikir manusia modern. Akan tetapi, semua itu konsep Teori Kritis
yang ditawarkan oleh para pendahulu Jurgen Habermas (Max Horkheimer, Theodor
Adorno, dan Herbert Marcuse) mengalami sebuah kemacetan atau berakhir dengan
kepesimisan. Akan tetapi, teori ini tidak berakhir begitu saja,
Jurgen Habermas sebagai penerus Mazhab Frankfurt akan membangkitkan kembali
teori tersebut dengan sebuah paradigma baru.
Teori kritis menurut Habermas
di sebut dengan “teori dengan maksud
praktis” berarti tindakan yang membebaskan
model teori kritis dengan maksud praktis. Dalam masalah teori-teori Habermas
mempunyai beberapa kepentingan; kepentingan pengetahuan dan kepentingan praktis
ide itu bukanlah tidak serupa dengan mengatakan bahwa seorang mahasiswa
mengembangkan suatu “kepentingan” dengan maksud untuk memperoleh
suatu tingkat dari tujuannya. Kepentingan yang dibicarakan Habermas ini,
bagaimanapun juga dimiliki oleh kita semua dalam keanggotaan masyarakat
manusia. Argumentasinya berakar di dalam karya Marx, dan kita temukan kritikan utamanya tentang teori Marx. Kepentingan selanjutnya
yaitu kepentingan praktis, yang pada gilirannya memunculkan ilmu
pengetahuan Hermeneutik yang dengan caranya menginterpretasikan tindakan satu
sama lain. Baik secara individu, sosial masyarakat maupun secara organisatoris
secara kritis menurut Habermas. Kepentingan praktis,
kata Habermas memunculkan suatu kepentingan ketiga, “kepentingan
emansipatoris“. Dia membangkitkan pengetahuan teoritis, untuk itu Habermas
mengambil psikoanalisa sebagai model untuk mengkaitkan antara kemampuan
berfikir dan bertindak dengan kesadaran sendiri. Maka, teori bagi Habermas
merupakan suatu produk dan memenuhi maksud
dari tindakan manusia. Secara esensial itu adalah alat untuk kebebasan
manusia yang besar.
Penegasan kunci Habermas adalah bahwa tidak masuk akal kita
bicara umum tentang kepentingan di belakang ilmu-ilmu sebagaimana dilakukan
oleh Horkheimer, Adorno dan Marcuse. Habermas menegaskan (sesuai dengan
pendekatan teori kritis sejak semula) bahwa ilmu pengetahuan malah hanya
mungkin sebagai perwujudan kebutuhan manusia, yang terungkap dalam suatu
kepentingan fundamental. Pekerjaan merupakan “bentuk sintesis manusia dan alam
yang di satu pihak mengikatkan objektivitas alam pada pekerjaan objektif
subjek-subjek, tetapi di lain pihak tidak meniadakan independensi
eksistensinya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan kategori
epistemologi, istilah filsafat ilmu pengetahuan.
Pada kenyataannya Habermas menyarankan bahwa tingkat
ekonomi dari formasi sosial hanya dominan dalam masyarakat kapitalis,
barangkali hanya dalam kapitalisme awal, dia
mengatakan setiap tipe masyarakat diatur
oleh suatu kompleks institusional tertentu mungkin hal itu adalah institusi
ekonomi untuk kapitalisme awal, negara untuk kapitalisme akhir dan sistem
kekerabatan dalam masyarakat suku terasing. Namun demikian institusi-institusi
itu sendiri bisa dilihat sebagai penjelmaan-penjelmaan dari nilai-nilai budaya
dan norma-norma yang dia lihat sebagai hal yang berkembang kearah
tingkat-tingkat universalitas yang semakin tinggi. Menurut Habermas bahwa
institusi sosial ada tidak hanya untuk membantu dan mempertahankan produksi ekonomi tetapi juga menekan kembali
keinginan yang mau membuat kehidupan sosial menjadi tidak mungkin.
Habermas memperhatikan evolusi masyarakat manusia
dari jumlah sudut pandangan yang lain,
biasanya menghasilkan klasifikasi yang tiga kali lipat. Masyarakat dilihat sebagai hasil dari
tindakan manusia pada gilirannya distruktur oleh norma-norma dan nilai-nilai. Perkembangan-
perkembangan dari nilai-nilai dan norma-norma inilah, yang harus diperhatikan
kalau kita mau memahami perubahan sosial.
Dasar-dasar untuk kritik sosial terletak dalam tujuan yang
terhadapnya perkembangan sosial itu berubah, suatu rasional universal yang di
dalamnya setiap orang berpartisipasi secara sama. Suatu situasi dimana
komunikasi tidak mengalami distorsi suatu situasi percakapan yang ideal, yang
ingin dibuatkan out line-nya oleh Habermas. Seperti dengan karya persons
kita berakhir dengan konsepsi kecil atau sederhana tentang tingkat-tingkat
dari organisasi sosial, di luar yang diberikan oleh pemberian prioritas kepada
kebudayaan, tak ada pengaruh mengenai mekanisme sebab akibat dan lebih
merupakan suatu pengklasifikasian umum daripada suatu sistem yang bersifat
menjelaskan.
Paradigma Teori Kritis masyarakat klasik ditentukan oleh
dua faham fundamental, yaitu: gaya pemikiran historis
dan gaya pemikiran materialis. Dengan pola berpikir historis
dimaksud bahwa realitas sosial yang ada sekarang hanya dapat di pahami betul
kalau dilihat sebagai hasil sebuah sejarah. Ilmu-ilmu positif menyelubungi
secara idiologis fakta yang paling fundamental bahwa sejarah itu di buat oleh
manusia sendiri (dalam bahasa Marx: manusia sebagai Gattungswesen atau
makhluk jenis membuat sejarahnya sendiri), bahwa sejarah itu merupakan sejarah
penindasan, bahwa penindasan itu justru ditutup-tutupi sehingga realitas
sekarang tampak sebagai objektifitas yang wajar. Teori kritis bertugas membuka selubung ideologis
itu, jadi membuka penghisapan dan penindasan itu sebagai karya manusia
dan dengan demikian membuka kemungkinan pembebasan. Maka Habermas bicara
tentang “teori kritis sejarah dengan maksud
praktis”. Dengan meminjam pola pendekatan psikoanalisa dari Sigmund
Freud, ia mengharapkan agar ingatan kembali terhadap sejarah penderitaan dan
penindasan melepaskan kekuatan-kekuatan emansipatoris: menyadari diri sebagai
korban penindasan terselubung memberikan tekad untuk membebaskan diri dari sebuah situasi yang sekarang tidak lagi dipandang objektif perlu, melainkan
sebagai hasil proses sejarah.
Dengan demikian pemikiran
Jurgen Habermas sebagai filosof dari Jerman yang menggunakan sifat kritis
terhadap berbagai macam persoalan termasuk
teori tradisional. Habermas mempunyai kesadaran mengkritisi segala tindakan
yang merugikan sosial, baik itu secara individu kelompok, masyarakat, ataupun
organisasi. Dia juga menggunakan dua pendekatan dalam mengkritisi sesuatu; gaya
pemikiran historis dan pemikiran materialis.
Dengan demikian ia tidak selalu menggunakan gaya filsafat kritis.
Karena dia melihat adanya perubahan dalam sosial. Namun perubahan tersebut
tetap dalam kerangka sosial yang nyata.
2.
Rasionalitas dan Komunikatif
Bagi para pendahulu tokoh Mazhab Frankfurt, rasionalitas
lebih dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas
yang mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk
menghasilkan efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling
maksimal. Jika menggunakan konsep rasionalitas semacam itu, maka manusia akan
terasing satu sama lain, terutama karena mereka memperlakukan manusia lainnya
sebagai benda untuk mencapai tujuan mereka masing-masing.
Kemudian Jurgen Habermas melihat miskonsepsi atas
rasionalitas , dan kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas
yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas
komunikatif ini sudah tertanam didalam akal budi manusia itu sendiri, dan
didalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada
dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada.
Proyek pencerahan memang membawa dampak buruk bagi
peradaban manusia, tetapi dampak baiknya juga tidak dapat dilupakan begitu
saja. Perang memang memakan korban yang semakin besar, tetapi kemampuan manusia
untuk menggunakan akal budinya juga bertambah, dan dimana sumber masalah ada,
biasanya disitulah sumber solusinya.
Jika yang salah adalah rasionalitas manusia yang telah
menjadi melulu instrumental, maka solusinya adalah rasionalitas yang bersifat
komunikatif yang terletak didalam kemampuan manusia untuk mencapai saling pengertian
terhadap manusia lainnya, yakni di dalam bahasa. Dengan merumuskan rasionalitas
komunikatif sebagai inti dari seluruh pemikirannya, Habermas berhasil membuat
terobosan dari kebuntuan para pendahulunya di Teori Kritis Frankfurt, dan
kemudian melebarkan analisis Teori Kritis sampai menyentuh refleksi filsafat
bahasa, teori diskursus dan moralitas, serta Refleksi tentang ruang publik,
dimana rasionalitas menemukan ruang implementasinya, yakni didalam prakteks
dialog dan debat publik untuk mencapai kesaling pengertian.
Jurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di dalam
Teori Kritis . Menurut Jurgen Habermas, komunikasi dapat
menyelesaikan kemacetan Teori kritis yang ditawarkan oleh pendahulunya. Jurgen
Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi (interaksi). Pekerjaan
merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan untuk
mencapai sesuatu. Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling
pengertian. Dalam tradisi Mazhab Frankfurt, teori dan praksis tidak
dapat dipisahkan. Praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak
hanya tampak dalam kegiatan-kegiatan yang berkerja melulu, melainkan interaksi
dengan orang lain menggunakan bahasa sehari-hari.
Jadi, Jurgen Habermas berpendirian bahwa kritik hanya dapat
maju dengan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau
tindakan komunikatif. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat
yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekerasan, tetapi melalui
argumentasi. Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi,
yaitu: perbincangan atau diskursus dan kritik.
3.
Wacana Etika
Dalam wacana etika, Jurgen Habermas
merumuskan perspektif moral dalam ilham yang sama. Prinsip
etika wacana (Diskursethischer Grundsatz) memiliki makna, hanya
norma-norma yang dipersetujui atau yang dapat dipersetujui oleh kalangan yang
terlibat dalam wacana saja boleh dianggap sahih. Kedua, adalah prinsip
universalisasi (Universalisierungsgrundsatz), yang memberikan makna, sebuah
norma moral yang hanya boleh dianggap sahih kalau kesan-kesannya dapat
diperhitungkan dalam mempengaruhi serta memuaskan peserta secara nir-paksaan
dan boleh ditaati secara umum. Jadi, tampaknya norma moral pada Habermas itu
sarat menuntut kepada mufakat, serta memang lapang untuk diwacanakan sesama
yang terlibat.
Menyadari hal ini, maka Habermas menyatakan bahawa dua
prinsip ini dapat berfungsi baik, lantaran persoalan moral itu sebenarnya
bukanlah persoalan perasaan. Persoalan moral, bagi Habermas, adalah dasar-dasar
rasional yang boleh menggalang wacana. Maka, sejauh ada nuansa rasional-nya,
maka sejauh itulah juga wacana dapat diteruskan. Buktinya, menerusi wacana,
setiap pesertanya mestilah membawa suara-suara universal, yang sekaligus dapat
dipersoalkan. Jadi, sejauh dapat dipersoalkan, maka itu adalah rasional. Sebaliknya,
kalau tidak dapat dipersoalkan, itu adalah persoalan perasaan semata. Dengan
demikian, terbukti bahawa persoalan moral adalah persoalan rasional.
Di samping itu, setiap wacana harus terbuka untuk
penyanggahan. Memandang setiap manusia adalah sama, sehingga setiap manusia memiliki
jaminan haknya untuk menyampaikan pandangan secara bebas. Dan, mereka yang
paling cerdas pemikirannya, paling cerdas kemampuannya, maka merekalah yang
selayaknya mendapat perhatian.
Habermas kemudiannya membedakan mana yang baik dan mana
yang tidak adil. Ia memandang ke dalam wilayah hubungan antara masyarakat, moral,
hukum dan negara. Terutama melalui persoalan hukum, dan sekaligus persoalan
bangsa dan negara. Setiap hukum yang akan dibuat, harus mampu melewati proses
wacana masyarakat terlebih dahulu. Istimewanya, apa yang dikemukakan Habermas
ini jelas memperbaiki gagasan trias politica antara eksekutif,
judikatif, dan legistatif, seperti yang dikemukakan Montesquieu dalam L’Esprit
des lois.
Jadi wacana etika yang diberikan Jurgen Habermas memberikan
pandangan yang baik untuk terciptanya kerukunan di dunia., yang menjunjung hak
asasi manusia. Habermas merumuskan sebuah kaedah mufakat dalam masyarakat, yang
juga kemudiannya mewadahi negara-hukum. Dia menjadikan wacana etika
sebagai proses berkomunikasi dalam
interaksi sosial yang menjadi kunci bagi terwujudnya masyarakat yang bebas dan
merdeka. Dalam kaitan itulah komunikasi harus jelas, jujur, benar dan betul,
dan karena itu, rasionalitas masyarakat sangat terkait dengan keberhasilannya
dalam memecahkan masalah atau konflik yang dihadapinya dengan memuaskan pihak-pihak
yang terlibat.
4.
Demokrasi Deliberatif
Kata “deliberasi” berasal dari bahasa Latin deliberatio
yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini
memiliki arti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam istilah politik
adalah “musyawarah”. Pemakaian istilah demokrasi memberikan makna
tersendiri bagi konsep demokrasi. Istilah demokrasi deliberatif
memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan
aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.
Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya
dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang
menghasilkan aturan-aturan itu. Teori ini membantu untuk bagaimana
keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah
aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi
peraturan-peraturan tersebut. Dengan kata lain, demokrasi
deliberatif meminati kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Secara
tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan
yang membuat warga mematuhinya.
Jadi pandangan Jurgen Habermas dalam demokrasi deliberatif,
kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas. Kita
sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh
orang-orang yang memegang mandat. Jika kita berani mengkritisi
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka secara tidak
langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional, bukan lagi masyarakat
irasional. Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk
mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika
kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara tidak
langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.
5. Ruang
Publik
Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup
berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang
demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat
menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka
secara diskursif. Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi. Ruang
publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan
politis warga. Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana
warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap
negara atau pemerintah.
Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah
institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu
sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada
intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah
diakses semua orang. Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan
solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan
mesin-mesin politik. Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para
aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, Pluralitas (keluarga,
kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst), publisitas
(media massa, institusi-institusi kultural, dst), keprivatan (wilayah
perkembangan individu dan moral), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan
hak-hak dasar).
Jadi Jurgen Habermas memberikan gagasan mengenai ruang
publik bahwa ruang publik bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang publik
di tengah-tengah masyarakat. Ruang publik tidak dapat dibatasi karena ruang
publik ada dimana saja. Di mana ada masyarakat yang duduk berkumpul
bersama dan berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, maka disitu hadir ruang
publik. Selain itu, ruang publik tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan
pasar maupun politik. Oleh karena itu, ruang publik tidak terbatas.
C.
Menjadi Kreatif dan Inovatif dengan Gagasan Pemikiran Jurgen Hubermas Dalam Dunia Pendidikan
Kreatif dan Inovatif adalah karakteristik personal
yang harus terpatri kuat dalam diri kita. Pendidikan yang dikembangkan secara
kreatif dan inovatif akan menjadi sangat menarik dan menyenangkan dalam dunia
pendidikan. Bahkan akan semakin berkembang dan menjadi terobosan baru dalam
dunia pendidikan. Yang tentunya melalui pendidikan akan memajukan di semua
bidang.
Kreatifitas dan Inovasi merupakan dua hal yang berbeda
tetapi saling membutuhkan satu sama lain. Karena sebuah Kreatifitas tidak akan
ada gunanya manakala tidak ada Inovasi yang berhasil mewujudkan. Inovasi dan
Kreatifitas memiliki dominan yang sama, yaitu sama-sama baru, akan tetapi
memiliki batasan yang tegas. Kreatifitas merupakan langkah pertama menuju
Inovasi. Kreatifitas berkaitan dengan produksi kebaruan dan ide yang bermanfaat
dan implementasinya.
Inovasi adalah proses menemukan atau mengimplementasikan sesuatu yang baru ke
dalam situasi yang baru. Konsep kebaruan ini berbeda bagi kebanyakan orang
karena sifatnya relatif, Maksudnya adalah apa yang dianggap baru merupakan lama
bagi orang lain dalam konteks lain. Inovasi merupakan memikirkan dan melakukan
sesuatu yang baru untuk menambahkan nilai-nilai manfaat dari suatu barang atau
produk.
Pendidikan
yang kreatif dan inovatif menggambarkan
keseluruhan proses pendidikan, misalnya proses belajar mengajar yang
berlangsung menyenangkan dengan melibatkan peserta didik untuk berpartisipasi
secara aktif selama proses pembelajaran. Untuk dapat mewujudkan pendidikan yang
aktif dan kreatif, serta menyenangkan tentu saja diperlukan ide-ide atau pun
gagasan kreatif dan inovatif.
Menjadi kreatif dan inovatif dapat diperoleh
melalui gagasan Jurgen Habermas dengan mengaplikasikannya
di bidang pendidikan. Ada beberapa hal dalam pendidikan yang dapat dikembangkan
dengan gagasan pemikiran tersebut antara lain:
1. Sains Teknologi masyarakat
Perkembangan
sains dan teknologi digunakan dan dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat.
Dengan memperbaharui melalui ide-ide yang kritis, rasional dan komunikatif
sehingga menghasilkan suatu hasil inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.
2. Ramah Terbuka dan Komunikatif
Pelaksanaan
pendidikan bersifat ramah, menjadi lebih menyenangkan dan dapat dilakukan
melalui ruang publik. Misalnya dengan pelaksanaan pendidikan langsung di tempat
penelitian. Sehingga pelaksanaannya lebih bersifat rasionalitas dan menjadi
lebih komunikatif. Sehingga mudah dikembangkan dan menjadi lebih menarik.
3. Menyenangkan Aktraktif Terukur Objektif dan
Aktif
Dalam
pelaksanaan pendidikan tentunya diperlukan kemufakatan dalam memajukan dunia
pendidikan. Bagian-bagian yang menjadi permasalahan dalam dunia pendidikan
dapat diselesaikan dengan memberikan kritik dan saran terhadap pelaksanaan
program pemerintah dalam dunia pendidikan. Tidak hanya kritik dan saran namun
juga adil dari semua masyarakat untuk kepentingan bersama. Sehingga inovasi
pendidikan yang tercapai akan lebih terarah.
Dengan demikian menjadi kreatif dan inovatif dapat dilakukan
dengan teori kritis, berpikir rasional dan komunikatif, berprinsip untuk
kemajuan bersama melalui kemufakatan, memanfaatkan wacana etika, dan tentunya
memanfaatkan ruang publik untuk perkembangan pendidikan. Dan diharapkan dengan
menjadi kreatif dan inovatif dalam dunia pendidikan dapat menghasilkan ide-ide
dan karya-karya baru.
Semoga bermanfaat
DAFTAR PUSTAKA
Aqil
Fithri. 2010. “Habermas dan Etika wacana”.
http://jalantelawi.com/2010/05/habermas-dan-etika-wacana/.
Diakses tanggal 2 Januari 2013.
Bertens.
2002. “ Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman”. Jakarta: Gramedia.
Budi
Hardiman. 2009. “ Kritik Ideologi”. Yogyakarta: Kanisius.
Budi
Hardiman. 2009. “ Menuju Masyarakat Komunikatif”. Yogyakarta: Kanisius.
Budi
Hardiman. 2009. “ Demokrasi Deliberatif”. Yogyakarta: Kanisius.
Budi hardiman. 2010. “ Ruang
Publik”. Yogjakarta: Kanisius.
Ginting Paham dan Syafrizal Helmi
Situmorang. 2008. “Filsafat Ilmu dan Metode Riset”. Medan :USU Press.
Reza A.A
Wattimena. 2007. “Rasionalitas
Komunikatif”. http://rumahfilsafat.com/2007/Crasionalitas-komunikatif/D-jurgen-habermas-masihkah-relevan/. Diakses
tanggal 2 januari 2013.